Minggu, 24 Mei 2009

Contoh BAB III Metode Penelitian

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif. Metode penelitian korelatif adalah mengkaji hubungan antara variabel-variabel bertujuan untuk mengungkapkan hubungan korelatif antara variabel (Alimul, 2007). Penelitian ini diawali dengan pengumpulan data, kemudian disusun, dijelaskan dan dianalisa. Dalam penelitian ini mencoba mengungkapkan hubungan antara pengetahuan dan sikap Ibu terhadap pemberian imunisasi campak pada balita.

3.2 Variabel Penelitian
Variabel adalah objek penelitian yang ditetapkan dalam suatu kegiatan penelitian yang menunjukkan variasi baik kuantitatif maupun kualitatif (Arikunto, 2002). Dalam penelitian ini terdiri variabel independen dan variabel dependen.
3.2.1 Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (Sugiyono, 2007) variabel independen atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan Ibu dan sikap tentang imunisasi campak.
3.2.2 Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2007), Dalam penelitian ini variabel dependennya pemberian imunisasi campak

3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti (Alimul, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai balita di Desa Cengal wilayah kerja Puskesmas Maja yaitu 322.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Alimul, 2007). Sampel penelitian ini adalah sebagian ibu yang mempunyai balita yang ada di Desa Cengal wilayah kerja Puskesmas Maja Kabupaten Majalengka bulan April 2008. Cara pengambilan sampel dengan purposive sampling, yaitu pengambilan sebagian subyek penelitian dilakukan untuk tujuan tertentu (Sugiyono, 2007). Sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan kriteria inklusi ibu dengan balita:
1. Usia balita 9-15 bulan
2. Bayi tidak menderita sakit parah, kurang gizi derajat berat
kriteria ekslusinya yaitu bayi diluar usia 9-15 bulan, bayi yang sakit parah. Sampel dalam penelitian ini menggunakan batasan dari Arikunto (2002) yaitu 10% dari populasi dan menurut Roscue (1982) sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500 sampel. Sehingga sampel dalam penelitian ini yaitu 35 sampel.

3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan data (Arikunto, 2002). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner untuk pengetahuan instrumen terdiri dari empat kolom terdiri dari no, pernyataan, dan pilihan jawaban benar dan salah. Pada kuisioner pengetahuan apabila pernyataan positif untuk jawaban benar dengan skor 1 dan salah skor 0 sedangkan pernyataan negatif apabila responden mengisi kolom benar skor 0 dan mengisi kolom salah skor 1. Untuk sikap menggunakan skala Likert dengan pernyataan sikap favorabel pilihan jawaban SS= sangat setuju skor 5, S= setuju skor 4, KS= kurang setuju skor 3, TS=tidak setuju dengan skor 2, STS= sangat tidak setuju dengan skor 1 sedangkan pernyataan sikap unfavorabel pilihan jawaban SS= sangat setuju skor 1, S= setuju skor 2, KS= kurang setuju skor 3, TS=tidak setuju dengan skor 4, STS= sangat tidak setuju dengan skor 5. jenis data adalah data ordinal.

3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas
3.5.1 Uji Validitas

Validasi adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan sesuai instrumen. Suatu instrumen yang valid mempunyai validasi tinggi. Sebaliknya instrumen yang kurang valid berarti memiliki validasi rendah. Sebuah instrumen dikatakan valid yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2002). Uji coba instrumen dilakukan pada 15 ibu yang memiliki balita di Desa Cipicung wilayah kerja Puskesmas Maja Kabupaten Majalengka
Rumus untuk mengukur suatu instrumen valid atau tidak, dapat diukur dengan menggunakan rumus Pearson yang dikenal dengan rumus korelasi product Moment sebagai berikut:
Rumus dengan angka kasar



Dengan pengertian :
N = Banyaknya peserta tes
X = Nilai rata-rata harian siswa
Y = Nilai hasil uji coba tes
Rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan Y
Yang dikatakan valid jika nilai r tiap pernyataan > 0,30 (r tabel) dan jika tidak valid apabila nilai r < 0,30. Uji validasi ini dilakukan dengan menggunakan alat program SPSS For Window Release 13.
3.5.2 Uji Reliabilitas
Relaibilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat di percaya yang digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik (Arikunto, 2002). Secara garis besar ada dua jenis reliabilitas, yaitu reliabilitas eksternal dan internal. Jika ukuran atau kriterianya berada diluar instrumen, maka dari hasil pengujian ini adalah diperoleh reliabilitas eksternal, sebaliknya jika perhitungan dilakukan berdasarkan data dari instrumen tersebut saja, adalah menghasilkan reliabilitas internal (Arikunto, 2002). Adapun untuk uji reliabilitas menggunakan rumus alpha, yaitu suatu rumus yang dapat digunakan untuk mencari reliabilitas instrumen yang skornya 1 dan 0.
Untuk mengukur sebuah instrumen dapat dipercaya atau tidak, dapat diukur dengan rumus alpha-cronbach (Arikunto, 2002) sebagai berikut :


Dimana :
R n : Reliabilitas instrumen
K : Banyaknya butir soal atau butir pertanyaan
b2 : Jumlah Varian butir soal
t2 : Varian total
Yang dikatakan reliabel jika nilai r minimal 0,60 dan jika tidak reliabel apabila nilai r > 0,60 (Sugiyono, 2007) atau yang dikatakan reliabel jika r alpha > r tabel dan dikatakan tidak reliabel jika r alphanya < r tabel. Untuk memperoleh alat ukur yang valid, butir pertanyaan yang nilai r alphanya < r tabel, perlu diganti atau diperbaiki atau bahkan dihilangkan. Sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai instrumen penelitian dengan tingkat validitas yang memadai (Arikunto, 2002). Hasil uji reliabilitas menunjukan nilai r alpha = 0,7556 atau lebih dari 0,60 maka instrumen dikatakan reliabel.


3.6 Teknik Analisa Data
Analisa data menjelaskan tentang metode statistik yang digunakan dalam menganalisa data hasil penelitian, termasuk di dalamnya adalah perlu tidaknya penggunaan uji statistik (Alimul, 2007).
3.6.1 Teknik Analisa Univariat
Dilakukan untuk melihat gambaran masing-masing variabel penelitian, yaitu pengetahuan dan sikap ibu dengan pemberian imunisasi campak di UPTD Puskesmas Maja. Teknik analisa univariat untuk pengetahuan dengan mencari median, pengetahuan baik ≥ median . Sedangkan pengetahuan kurang < median. Setelah menentukan pengetahuan responden, peneliti melakukan tabulasi dengan distribusi frekuensi dan menghitung presentasi pengetahuan. Nilai persentase yang didapatkan dikelompokan menurut batasan sebagai berikut:

Dimana :
P : Persentase
F : Jumlah pengetahuan dengan kategori baik atau kurang
N : Jumlah seluruh responden
Hasil prosentasi diatas diinterpretasikan dengan:
0% = Tidak satupun responden
1% - 25% = Sebagaian kecil responden
26% - 49% = Kurang dari setengah responden
50% = Setengah responden
51% - 75% = Lebih dari setengah responden
76% - 99% = Sebagian besar responden
100% = Seluruh responden (Arikunto, 2002).
Teknik analisa univariat untuk sikap dengan mencari median, sikap favorabel ≥ median. Sedangkan sikap unfavorabel < median. Setelah menentukan sikap responden, peneliti melakukan tabulasi dengan distribusi frekuensi dan menghitung presentasi sikap. Nilai persentase yang didapatkan dikelompokan menurut batasan sebagai berikut:

Dimana :
P : Persentase
F : Jumlah sikap dengan kategori favorabel atau unfavorabel
N : Jumlah seluruh responden
Hasil prosentasi diatas diinterpretasikan dengan:
0% = Tidak satupun responden
1% - 25% = Sebagian kecil responden
26% - 49% = Kurang dari setengah responden
50% = Setengah responden
51% - 75% = Lebih dari setengah responden
76% - 99% = Sebagian besar responden
100% = Seluruh responden (Arikunto, 2002).
3.6.2 Teknik Analisa Bivariat
Tujuan dari analisa bivariat adalah untuk membuktikan adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisa ini menggunakan metode uji statistik chi-square. Dengan p value = 0,05 apabila didapatkan hasil penelitian dengan p value < 0,05 maka secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara variabel independen dengan variabel dependen. Apabila p value > 0,05 maka tidak terdapat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Dengan syarat uji hipotesis "ho ditolak, jika chi-square hitung > chi-square tabel". Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat (Arikunto, 2002). Untuk menguji hipotesa ini dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square yaitu:

Keterangan:
X2 : Harga X2 (chi-square)
Fo : Frekuensi yang diperoleh berdasarkan data
Fh : Frekuensi yang diharapkan (Alimul, 2007)

Untuk pengolahan data menggunakan perangkat komputer dengan menggunakan Program SPSS For Window 13.

3.7 Hipotesa Penelitian
Hi : Ada Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Campak dengan Pemberian Imunisasi campak Pada Balita di Desa Cengal Wilayah Kerja Puskesmas Maja Kabupaten Majalengka.
Hi : Ada Hubungan Antara Sikap Ibu Terhadap Pemberian Imunisasi campak dengan Pemberian Imunisasi campak Pada Balita di Desa Cengal Wilayah Kerja Puskesmas Maja Kabupaten Majalengka

3.8 Prosedur Penelitian
Penelitian ini melewati beberapa tahap, yaitu:
3.8.1 Tahap Pra Instrument
a. Menentukan topik penelitian
b. Studi pendahuluan
c. Melakukan study kepustakaan
d. Merumuskan masalah
3.8.2 Tahap Persiapan
a. Perbaikan proposal
b. Permohonan izin penelitian
3.8.3 Tahap Pelaksanaan
a. Informed consent
b. Melakukan penelitian
c. Melakukan pengolahan data
3.8.4 Tahap Akhir
a. Penyusunan laporan penelitian
b. Perbaikan hasil penelitian
c. Persentasi hasil penelitian atau sidang akhir hasil penelitian

3.9 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian digunakan di wilayah kerja Puskesmas Maja Desa Cengal Kecamatan Maja Kabupaten Majalengka terhitung mulai dari bulan Juli 2008.

3.10 Etika Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan kepada responden, serta membuat surat informed consent. Peneliti meneliti dan menghargai responden, merahasiakan segala yang diiformasikan, segala kejadian dan informasi ditulis secara jujur dan benar. Tujuan informed consent ini adalah agar subjek atau responden mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya (Alimul, 2007).


Rabu, 20 Mei 2009

Pendidikan Keperawatan

Konsep Pengetahuan

Pengetahuan

Pengetahuan adalah mengerti dan memahami akan sesuatu hal (Kamus Bahasa Indonesia, 2002). Pengetahuan adalah hasil dari "tahu", dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2003). Perilaku manusia mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dan komplek. Notoatmodjo mengutip pernyataan Bloom bahwa perilaku dibagi dalam tiga domain, yaitu : Kognitif, Afektif, dan Psikomotor. Hal ini diperlukan untuk tujuan pendidikan yaitu untuk mengembangkan atau meningkatkan ketiga stimulasi yang berupa materi atau objek sehingga menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap, akhirnya stimulasi yang telah diketahui dan disadari akan menimbulkan respons yang lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif ada 6 tingkatan yaitu :

1). Tahu


mpuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu hal yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tingkatan "tahu" merupakan tingkatan yang paling rendah.

2). Memahami

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3). Aplikasi

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

4). Analisis

Analisis adalah suatu kemampuan menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen – komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5). Sintesis

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan meletakkan atau menggabungkan bagian – bagian didalam suatu objek bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.

6). Evaluasi

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan materi atau objek. Penilaian – penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria – kriteria yang sudah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara dengan menggunakan kuesioner yang menyatakan tentang isi materi yang akan diukur dari objek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan dapat diukur disesuaikan dengan tindakan – tindakan tersebut diatas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang

Menurut (NANDA, 2005) bahwa pengetahuan/knowledge seseorang di tentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1) Keterpaparan terhadap informasi

Apabila seseorang terpapar dengan salah satu informasi dengan sering maka informasi tersebut akan diingat, diolah, dan tersimpan dalam memori seseorang tehadap informasi tersebut.

2) Daya ingat

Daya ingat seseorang menentukan dalam penyimpanan informasi, dimana proses belajar akan semakin tinggi sehingga khasanah seseorang semakin luas.

3) Interpretasi informasi

Interpretasi seseorang sangat menentukan terhadap stimulus suatu obyek yang diterima, sehingga dengan intrepetasi informasi yang benar dan sesuai akan menjadikan pengetahuan bertambah.

4) Kognitif

Tingkat kognitif seseorang mencerminkan tingkat analisa seseorang terhadap suatu obyek atau masalah yang dihadapi.

5) Minat belajar

Dengan minat belajar seseorang akan timbul keinginan perasaan ingin tahu sehingga seseorang akan berusaha untuk membaca, mencari tentang informasi yang diterima.

6) Kefamiliaran akan sumber informasi

Semakin sering seseorang menerima, membaca, dan mengetahui terhadap sesuatu informasi maka individu akan mengingat selalu terhadap informasi tersebut serta akan mengaplikasikannya.


Minggu, 17 Mei 2009

Keperawatan Maternitas

Kehamilan Ektopik Terganggu

Definisi

a. KET adalah kehamilan yang berbahaya karena tempat implantasinya tidak memberikan kesempatan untuk tumbuh kembang mencapai aterm, tempat implantasi di luar endometrium normal (Manuaba, 1998).

b. KET adalah bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri (Prawirohardjo, 2002).

c. KET adalah kehamilan dimana fetus diimplantasikan di luar kavum uteri (Bobak and Jensen, 1993).

Etiologi

Sebagian besar tidak diketahui, Faktor yang memegang peranan sebagai berikut:

a. Faktor dalam lumen tuba: endosalpingitis, lumen tuba yang sempit serta berkeluk-keluk, gangguan funsi silia endosalping.

b. Faktor dinding tuba: endomitriosis, divertikel tuba kongenital

c. Faktor lain: migrasi ovum, umur ibu hamil antara 20-40 tahun puncak umur 30 tahun.

Berdasarkan tempat impalntasinya:

a. Pars interstitial tuba

b. Pars ismika tuba

c. Pars ampularis tuba

d. Kehamilan infundibulum tuba

Kehamilan ektopik dapat terjadi babarapa kemungkinan:

a. Hasil konsepsi mati dini

b. Terjadi abortus

c. Tuba fallopi pecah.

Tanda dan gejala

Bervariasi dari bentuk abortus tuba atau terjadi ruptur tuba. Gejala klinik sebagai berikut:

a. Amenorea, lamanya bervariasi dari beberapa hari sampai bulan, dijumpai tanda kehamilan muda.

b. Nyeri abdomen, disebabkan kehamilan tuba pecah. Nyeri dapat menjalar keseluruh abdomen, daerah bahu.

c. Perdarahan, dapat terjadi keadaan anemi serta syok.

Pengkajian

a. Data subjektif:

    • Klien mengeluh tidak menstruasi
    • Klien mengeluh mual muntah
    • Klien mengeluh ada perdarahan pervaginam
    • Nyeri seluruh abdomen bahkan menjalar ke bahu.

b. Data objektif:

§ Nyeri tekan daerah abdomen

§ Daerah pereifer dingin

§ Nadi meningkat

§ Hipotensi

§ Kesadaran bervariasi dari baik sampai koma

Nursing diagnosis

a. Penurunan kardiak output

b. Penolakan

c. Perasaan berduka cita

Nursing intervensi

a. Pain management: relaksasi, distraksi

b. Identifikasi support system yang ada

c. Lakukan tes darah lengkap, golongan darah, rhesus serta crossmatch, dan urinalisis

d. Pemberian cairan IV line sesuai indikasi

e. Observasi vital sign

f. Beri penjelasan bahwa klien telah mengalami kehilangan dan memerlukan waktu untuk pemulihan.

g. Apabila dilakukan tindakan operatif, lakukan seperti rencana tindakan pada pre dan pasca bedah.


Mola hidatidosa

Definisi

Mola hidatidosa adalah kehamilan dini secara abnormal dan uterus terisi oleh gelembung-gelembung mirip buah anggur yang menghasilkan hormon korionik gonadotropin dalam jumlah yang sangat besar (Farerr, 2001).

Tipe mola hidatidosa

a. Mola komplit, fertilisasi sel telur yang tidak mempunyai inti atau tidak aktif. Inti sperma (23X) menduplikasi, menjadi berjumlah diploid, 46XX. Kira-kira 90% mola hidatidosa diploid 46XX berkembang menjadi choriocarcinoma.

b. Kariotipe mola parsial adalah diploid normal, trisomik, atau triploid. Mola triploid seringkali terbentuk dari dua set kromosom ayah dan satu set kromosom ibu atau sebaliknya.

Tanda dan gejala

a. Uterus kehamilan lebih besar dari kehamilan normal, teraba lunak serta bundar.

b. Jantung janin tidak terdengar

c. Dapat dijumpai hiperemisis, pre eklamsi timbul secara dini.

d. Perdarahan pervaginam yang sedikit dan barwarna gelap

e. Kadang dijumpai gelembung-gelembung seperti buah anggur keluar dari dalam vagina.

f. Tes urin kehamilan menunjukan positif kuat.

g. Kehamilan terjadi rata-rata usia tua (>35 tahun), ibu yang mempunyai lebih dari satu anak.

Pengkajian

a. Umur kehamilan

b. Pembesaran uterus tidak sesuai dengan usia kehamilan

c. Jantung janin tidak terdengar

d. Perdarahan pervaginam

e. Paritas, gravida

Nursing diagnosis

a. Cemas

b. Kehilangan

c. Kurang pengetahuan

Nusing intervensi

a. Identifikasi support system yang ada

b. Observasi vital sign

c. Beri penjelasan bahwa klien telah mengalami kehilangan dan memerlukan waktu untuk pemulihan.

d. Beri penjelasan tentang proses penyakitnya serta prosedur tindakan yang akan dilakukan secara singkat dan sederhana.

e. Persiapkan untuk tindakan pengosongan uterus dengan kuretase serta tindakan histerektomi pada klien dengan usia lebih dari 40 tahun.

f. Beri penjelasan pentingnya pemeriksaan lanjutan setelah pulang dari rumah sakit.




DAFTAR PUSTAKA

Bobak and Jensen. 1993. Maternity & Gynecologic Care the nurse and the family Fifth Edition. (terjemahan). Mosby-year book.Inc.

Doenges, Marilynn. E 1994. Maternal/Newborn Plans Of Care: Guideline For Planning And Documenting Client Care. (terjemahan) F.A Philadelphia, Pennsylvania.USA.

Farrer, H. 2001. Maternity Care Second Edition. (terjemahan) .EGC. Jakarta.

Prawirohardjo, S. 2002. Ilmu Kebidanan. Yayasan bina Pustaka sarwono Prawirohardjo. Jakarta.

Manuaba, 2002. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, Jakarta: EGC.

Rustam, M. 1998. Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi edisi ke 2 jilid 1. Jakarta: EGC

Penelitian keperawatan

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN

STIKES YPIB MAJALENGKA

Skripsi, Agustus 2008

Mochamad Yusuf

Hubungan pengetahuan ibu tentang kebutuhan gizi dengan status gizi pada balita di Desa Garawangi Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2008

52 Halaman, 10 Tabel, 1 Bagan

ABSTRAK

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah ekonomi negara rendah, kurangnya pengetahuan, dan Hygiene yang rendah.. Balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit serta merupakan kelompok umur dengan populasi gangguan gizi yang besar. Akibat kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dimana anak-anak tidak tumbuh menurut potensialnya, kekurangan tenaga untuk aktivitas dan bergerak, sistem imunitas berkurang sehingga mengakibatkan anak mudah sakit, terganggunya fungsi otak permanen terutama dibawah usia 2 tahun, perilaku tidak tenang, mudah tersinggung, cengeng dan apatis. Desa Garawangi data status gizi yaitu gizi lebih 14,18%, gizi baik 26%, gizi kurang 59,81%, gizi buruk 0%.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan cross sectional. Dimana variabel independen yaitu pengetahuan ibu tentang kebutuhan gizi dan variabel dependen yaitu status gizi balita. Penelitian dilakukan di Desa Garawangi Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2008. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai balita, tehnik sampling menggunakan simple random sampling yaitu 100 sampel.

Tehnik pengumpulan data dengan kuesioner dan penimbangan dengan menggunakan timbangan dacin. Hasil penelitian sebagai berikut: untuk pengetahuan ibu di desa Garawangi Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2008 yaitu pengetahuan baik 45% dan pengetahuan kurang 55%sedangkan untuk status gizi yaitu 57% gizi kurang, gizi baik 43%, gizi lebih 0%, dan gizi buruk 0%. Analisis hubungan antara pengetahuan dan status gizi menggunakan chisquare dengan bantuan perangkat lunak SPSS versi 13 didapatkan adanya hubungan antara pengetahuan dan status gizi dimana nilai Chisquare hitung: 5,262 sedangkan nilai Chisquare tabel adalah 3,841, sehingga nilai Chisquare hitung lebih besar dari nilai Chisquare table. Nilai p value lebih kecil dari 0,05 yaitu 0.022.

iii

Kesimpulan hasil penelitian bahwa pengetahuan responden yang mempunyai balita di Desa Garawangi Kecamatan Sumberjaya wilayah kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka adalah lebih dari setengah mempunyai pengetahuan kurang sedangkan status gizi balita di Desa Garawangi Kecamatan Sumberjaya wilayah kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka adalah lebih dari setengah dengan status gizi kurang, dan terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita. Saran dalam penelitian ini adalah agar perawat komunitas Puskesmas Sumberjaya lebih meningkatkan lagi kegiatan penyuluhan tentang gizi.

Kata Kunci : pengetahuan, status gizi

Daftar Bacaan : Sumber 21 Daftar Pustaka tahun 1991 sampai dengan tahun 2007

Team keperawatan R.Galatik


FISIOLOGI PENCERNAAN

II. Fisiologi Pencernaan Berdasarkan Fungsi Dasarnya Yaitu Motilitas, Digesti, Absorpsi Dan Sekresi. BY DIDI RASIDIN, S.Kep//RSU Cideres

2.1 susunan saluran pencernaan:

  1. Oris (mulut)
  2. Faring
  3. Esofagus
  4. Ventrikulus
  5. Usus halus
  6. Usus besar
  7. Rektum
  8. Anus

Gambar 2.1 Saluran Pencernaan Dan Lapisan Dari Usus

2.2 Ciri Khas dari dinding Pencernaan

Cirri khusus dari dinding usus, meliputi lapisan luar ke dalam:

  1. Lapisan serosa
  2. lapisan longitudinal
  3. lapisan otot sirkuler
  4. lapisan sub mukosa
  5. lapisan mukosa

2.3 Kontrol Saraf Terhadap Fungsi Gastrointestinal

Traktus gastrointestinal memiliki persarafan sendiri yang disebut system saraf enteric. System ini terletak di dinding usus dan mengatur pergerakan dan sekresi gastrointestinal. Sistem enteric terutama terdiri dari dua pleksus:

1. Satu pleksus bagian luar yang terletak diantara lapisan otot longitudinal dan sirkular, disebut pleksus minterikus atau pleksus auerbach, dan

2. Satu pleksus bagian bagian dalam disebut pleksus submukosa atau pleksus meissner, yang terletak didalam submukosa. Pleksus mienterikus terutama mengatur pergerakan gastrointestinal, dan pleksus submukosa terutama mengatur sekresi gastrointestinal dan aliran darah lokal.

Selain system saraf diatas terdapat juga serat-serat saraf simpatis dan parasimpatis yang berhubungan dengan kedua pleksus mienteretikus dan submukosa, perangsangan oleh system simpatis dan parasimpatis dapat mengaktifkan dan menghambat fungsi gastrointestinal. Ujung-ujung sarafnya melepaskan neurotransmitter.

Gambar 2.2 Pengaturan Saraf Dinding Usus

Pengaturan anatomis system saraf enteric serta hubunganya dengan system saraf simpatis dan parasimpatis mendukung jenis reflek gastrointestinal salah satunya refleks gastrokolik, reflek enterogastrik, sekresi gastrointestinal, peristaltic, serta reflek berasal dari lambung, duodenum, refleks nyeri, dan refleks defekasi.

Terdapat beberapa hormone yang mempunyai makna penting untuk pengaturan sekresi gastrointestinal diantaranya:

1. Kolesistokinin diproduksi oleh sel “I” dalam mukosa duodenum dan yeyenum yang berpengaruh terhadap kontraktilitas pada kandung empedu, menghambat motilitas lambung.

2. Sekretin disekresi oleh sel “S” dalam mukosa duodenum mempunyai efek pengambatan yang ringan terhadap motilitas sebagian besar traktus gastrointestinal.

3. Peptida pengambat asam lambung, disekresi oleh mukosa usus halus bagian atas.

Pada traktus gastrointestinal terjadi dua gerakan yaitu gerakan propulsive dasar gerakanya adalah peristaltic yang menyebabkan makan bergerak maju sepanjang saluran dengan kecepatan sesuai untuk terjadinya pencernaan dan absorpsi dan gerakan mencampur yang menjaga agar isi usus sungguh-sungguh tercampur.

Gambar 2.3 Gerakan Mendorong

Pada saluran pencernaan terjadi proses pencernaan makanan, proses pencernaan makanan dimulai di mulut dengan cara mengunyah. Pada umunya mengunyah dilakukan oleh otot-otot pengunyah yang dipersyarafi oleh cabang motorik Nervus V dan proses mengunyah dikontrol nucleus dalam batang otak. Sebagian besar proses mengunyah disebabkan oleh suatu refleks mengunyah, yang dapat diterangkan sebagai berikut: bolus makanan di mulut pada mulanya menimbulkan penghambatan refleks otot mengunyah, yang menyebabkan rahang yang bawah turun ke bawah. Penurunan ini menimbulkan suatu refleks peregangan otot rahang yang menimbulkan kontraksi rebound. Keadaan secara otomatis mengangkat rahang menjadikan pengatupan gigi, tetapi juga menekan bolus melawan dinding mulut, yang menghambat otot rahang bawah sekali lagi, menyebabakan rahang turun dan kembali rebound pada saat yang lain, dan ini berulang terus menerus. Proses mengunyah dibantu oleh kelenjar ludah yang mensekresikan saliva.

Gambar 2.4 Sekresi Saliva.

Setelah proses mengunyah bolus mengalami proses menelan. Menelan adalah mekanisme yang kompleks, terutama Karena faring hamper setiap saat melakukan beberapa fungsi lain disamping menelan dan hanya diubah dalam beberapa detik ke dalam traktus untuk mendorong makanan. Secara umum, menelan dapat dibagi menjadi: tahaf volunter, tahaf faringeal, dan tahaf esophageal.

Gambar 2.5 Mekanisme Menelan

Tahap volunteer dari penelanan. Ketika makanan adalah siap untuk ditelan, “ secara sadar” makanan digulung atau ditekan kearah posterior kedalam faring oleh tekanan dari lidah ke atas dan ke belakang terhadap langit-langit mulut, menelan menjadi otomatis biasanya tidak bisa dihentikan.

Tahap faringeal. Ketika bolus makanan masuk ke bagian posterior mulut dan faring, bolus merangsang daerah reseptor menelan didaerah pintu faring, terutama pada tiang-tyang tonsillar, dan impuls-impuls dari sini berjalan ke batang otak. untuk mencentuskan serangkaian kontraksi otot faringeal secara otomatis.

Tahaf Esofageal. Ketika peristaltic dari esophagus dimulai, otot sfingter bawah dari esophagus berelaksasi, sfingter membuka dan bolus makanan masuk ke lambung. Otot dari sfingter bawah esophageal berkontraksi. Lalu menutup apabila gerakan peristaltic tidak ada, serta mencegah refluks dari lambung berupa asam lambung.

Gambar 2.6 Proses Menelan

Setelah proses menelan bolus berada dilambung, fungsi motorik dari lambung adalah penyimpanan sebagian besar makanan sampai makanan diproses duodenum, pencampuran makanan ini dengan sekresi dari lambung sampai membentuk suatu campuran setengah cairan disebut kimus, dan pengosongan makanan dengan lambat dari lambung ke dalam usus halus pada kecepatan yang sesuai penyerapan dan pencernaan yang sesuai untuk usus halus. Dibawah ini gambar anatomi dari lambung.

Gambar 2.7 Anatomi Lambung

Bolus dalam lambung dicerna dengan dibantu oleh hormone gastrin, asam lambung, serta lambung tersebut melakukan gerakan mencampur dan mendorong bolus yang sudah menjadi kimus. Selain itu lambung juga mensekresi kelenjar gastric yang memproduksi asam, mensekresi asam hidroklorida, pepsinogen, factor instrinsik, mucus dan lambung juga mensekresi kelenjar pilorik yang memproduksi mucus, beberapa pepsinogen, dan hormone gastrin. Dari lambung kimus masuk ke usus halus, kimus tersebut mengalami mengalami gerakan pencampuran dan kontraksi pendorongan. Aktivitas Peristaltic sangat meningkat setelah makan. Ini disebabkan sebagian oleh masuknya kimus ke dalam duodenum tetapi juga oleh apa yang disebut gastroenteric yang dimulai peregangan lambung dan diteruskan terutama melalui pleksus myenteric dari lambung menurun sepanjang dinding usus halus. Selain sinyal saraf mempengaruhi peristaltik usus halus, terdapat beberapa factor hormonal juga mempengaruhi gerak peristaltik. Factor hormonal tersebut meliputi gastrin, CCK, hormon insulin, motilin, dan serotonin, semuanya meningkatkan motilitas usus dan dikeluarkan selama berbagai fase pencernaan makanan. Dan sebaliknya, secretin dan glucagon menghambat motilitas usus kecil.

Gambar 2.8 Pergerakan Segmentasi Usus

Di usus halus terjadi proses absorpsi melalui transfor aktif dan melalui difusi beberapa ratus gram karbohidrat, 100 gram lemak, 50-100 protein yang telah disederhanakan, serta 7-8 liter air. Air ditransfor melalui membran usus dengan proses difusi. Absorpsi ion dilakukan melalui transfor aktif 20-30 gram natrium disekresikan melalui usus halus.

Gambar 2.9 Absorpsi Natrium

Permukaan absorpsi mukosa usus yaitu villi. Terdapat jonjot-jonjot yang disebut valvulae conniventes, yang dapat meningkat/kan area permukaan absorpsi menjadi sekitar tiga kali lipat. Lipatan ini meluas secara lingkar kebanyakan di sekitar usus dan terutama dengan baik berkembang baik di duodenum dan jejunum, di mana sering menonjol ke dalam dalam lumen 8 milimeter.

Gambar 2.10 Villi

Setelah melalui proses absorpsi di usus halus kimus masuk kedalam usus besar atau kolon, sebelumnya melewati katup ileosaekal yang mempunyai fungsi mencegah aliran balikisi fekal dari kolon ke dalam usus halus. Didalam kolon kimus mengalami proses absorpsi lagi, dimana fungsi dari kolon diantaranya absorpsi air dan elektrolit dari kimus dan penimbunan bahan feces sampai dapat dikeluarkan. Kira-kira 1500 ml kimus setiap harinya ke dalam kolon. Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan proksimal kolon sehingga disebut bagian ini kolon absorpsi. Dalam kolon terdapat juga bakteri yang berguna dalam mencerna selulosa, pembentukan vitamin k, vitaqmin B12, riboflavin, macam gas. Terjadi gerakan-gerakan dalam kolon diantaranya gerakan mencampur dalam kolon lebih dikenal haustrasi yaitu kontraksi gabungan dari pita otot sirkuler dan longitudinal menyebabkan usus besar yang tidak terangsang menonjol keluar menyerupai kantung. Selain gerakan mencampur kolon juga melakukan gerakan mendorong.

Gambar 2.11 Sfingter Ileosaekal Dan Kolon

Setelah feces dalam kolon penuh akan terjadi proses defekasi. Adanya suatu reflek defekasi yaitu bila feces memasuki rektum, perenggangan dinding rectum menimbulkan sinyal-sinyal afferent yang menyebar melalui pleksus myenteric untuk menimbulkan gelombang peristaltic di dalam kolon desenden, sigmoid, dan rektum, mendorong feces ke arah anus. Ketika gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter ani internus direlaksasi oleh sinyal-sinyal penghambat dari pleksus myenteric; jika sphincter ani eksternus dengan sadar, secara voluter berelaksasi pada waktu bersamaan, akan terjadi defekasi.

Gambar 2.12 Defekasi

hayanetwork: Stikes Bhakti Kencana Bandung

hayanetwork: Stikes Bhakti Kencana Bandung

kmb

2.2.1 Batu Traktus Urinarius

Gangguan pada saluran kemih selain karena infeksi dan kelainan anatomis dapat karena terbentuknya batu di dalam saluran kemih. Batu dapat timbul pada ginjal, ureter maupun pada buli-buli. Bentuk batu dapat bermacam-macam, misalnya persegi, elips, seperti murbei dan sebagainya. Batu dapat lunak keras sehingga sukar dihancurkan. Faktor-faktor yang menjadi predisposisi terjadinya batu saluran kemih adalah hiperkalsiuria, pengeluaran pirofosfat di dalam urinatau natrium dan magnesium. Perbandingan natrium dan kalsium atau magnesium dan kalsium merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu ginjal. Pada beberapa keadaan batu terjadi sekunder terhadap pembendungan air kemih atau infeksi saluran air kemih juga dipengaruhi faktor diet, iklim dan sebagainya.

2.2.1.1 Nefrolitiasis (batu ginjal)

Nefrolitiasis ialah terbentuknya batu di dalam kaliks ginjal atau pelvis renalis. Lebih dari separuh kasus batu ginjal ditemukan pada usia 20-50 tahun dan frekuensinya pria lebih banyak daripada wanita. Nefrolitiasis disebabkan oleh stasis urin di bagian distal, infeksi traktus urinarius baik spesifik maupun non spesifik, hiperparatiroid atau adenoma paratiroid, diet yang banyak menagndung oksalat seperti bayam, kangkung, kopi, teh, nanas, coklat dan lain-lain, juga artritis asam urat (gout), plak randal dan sebagainya.

Gambaran klinik

Batu ginjal kadang-kadang tidak menunjukkan gejala. Tanda pertama terjadi bila batu keluar melalui kaliks atau piala ginjal ke ureta. Gejala klasik ialah nyeri dan hematuri.

a. Nyeri pinggang atau perut

1) Kolik, serangan sakit berat yang timbul mendadak, berlangsung sebentar dan kemudian hilang mendadak pula untuk kemudian timbul kembali lagi. Nadi cepat, pucat, berkeringat dingin dan tekanan darah turun. Biasanya diikuti muntah atau mual, perut kembung, dan gejala ileus paralitik. Ditemukan pada 80% kasus batu ginjal.

2) Nyeri terus menerus, rasa panas atau terbakar di pinggang yang dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.

b. Hematuria ditemukan pada 100% kasus. Darah dari ginjal berwarna coklat tua. Dapat terjadi dengan atau tanpa kolik

c. Bila terjadi hidronefrosis dapat diraba pembesaran ginjal.

2.2.1.2 Ureterolitiasis (batu ureter)

Ureterolitiasis adalah terdapatnya batu pada ureter. Penyebab ureterolitiasis biasanya berasal dari batu ginjal yang lepas dan turun ke distal.

Gambaran klinik

a. Nyeri dapat bersifat kolik hebat sehingga pasien berteriak atau berguling-guling. Kadang-kadang nyeri terus-menerus karena peregangan kapsul ginjal. Biasanya nyeri dimulai didaerah pinggang kemudian menjalar ke arah testis disertai mual dan muntah, berkeringat dingin, pucat dan dapat terjadi renjatan.

b. Hematuria.

c. Nyeri ketok di daerah pinggang.

2.2.13 Vesikolitiasis (batu buli-buli)

Batu buli-buli ialah suatu keadaan ditemukannya batu didalam buli-buli. Pada anak 75% ditemukan dibawah usia 12 tahun dan 57% pada usia 1-6 tahun. Batu buli-buli berasal dari batu ginjal atau ureter yang turun akibat stasis pada striktur uretra, kontraksi leher buli-buli, sistokel, buli-neurogenik dan diventrikel, infeksi traktus urinarius, hiperparatiroid, diet yang mengandung banyak kalsium dan oksalat.

Komplikasi

Hidronefrosis, pielonefritis, uremia dan gagal ginjal akut.

Gambaran klinik

Rasa nyeri waktu miksi (disuria, stranguria). Hematuria kadang-kadang disertai urin keruh. Pancaran urin tiba-tiba berhenti dan keluar lagi pada perubahan posisi. Sering miksi (polakisuria). Pada anak nyeri miksi ditandai oleh kesakitan, menangis, menarik-narik penisnya. Miksi kadang-kadang mengedan sering diikuti defekasi atau prolapsus ani.

Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan laboratorium

Hematuria dapat terjadi makroskopis, sedimen urin mengandung eritrosit dan leukosit. Ditemukan kristal yang spesifik untuk setiap jenis batu. Pada batu ginjal kadang-kadang terdapat proteinuria ringan. Pada buli-buli, leukosit lebih banyak daripada eritrosit dan terbesar.

Pemeriksaan radiologis

Foto polos abdomen berguna untuk melihat batu radioopak di kaliks atau di piala ginjal, ureter dan buli-buli. Bila batu tidak tampak dapat dilakukan pemeriksaan pielografi intravena (piv) untuk melihat batu radiolusen sekaligus untuk menilai skresi ginjal. Bila dengan foto polos abdomen dan PIV tidak dapat ditentukan adanya batu atau bila PIV merupakan indikasi kontra, maka dapat dilakuka pielografi retrograd.

Pemeriksaan khusus

Pada buli-buli selain pemeriksaan radiologis, dilakukan juga pemeriksaan ketok batu dan perabaan rektum. Anak yang menderita batu pada saluran kemih pada umumnya mengeluh kesakitan sekali (kolik) disamping berkemih yang tidak lancar atau justru terjadi hematuria. Bila menjumpai keadaan demikian sebaiknya pasien langsung dikirim ke dokter. Nyeri hebat juga dapat terjadi pada penyakit lain seperti apendisitis akut atau kolesistisis.

Penatalaksanaan

Pengobatan konservatif diberikan spasmolitik untuk relaksasi otot ureter, banyak minum dan olah raga, diuretika, analgetika, sedativ. Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi.

Operasi dilakukan untuk mengeluarkan batu ginjal, ureter dan buli-buli yang tidak mungkin diharapkan dapat keluar sendiri (spontan), dan bila fungsi ginjal masih baik. Jika fungsi ginjal telah buruk dilakukan nefrektomi. Batu buli-buli yang besar dapat dipecahkan dengan litotripsi. Jika batu lebih besar dari 4 cm, biasanya dilakukan vesikolitotomi (Seksio-Alta).

Pengkajian

Data subjektif:

Mengeluh nyeri, kolik, rasa terbakar tergantung adanya daerah batu

Riwayat ISK

Pengeluaran urin tidak lancar

Mengeluh mual muntah

Data objektif:

Hematuria, piuria

Nyeri ketuk

Peningkatan TD/nadi

Diagnosa Keperawatan:

Gangguan rasa nyaman:nyeri

Perubahan eliminasi urin

Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan

Rencana Tindakan:

Kaji tingkat nyeri, intensitas, dan penyebarannya

Lakukan pain management

Berikan obat sesuai indikasi: narkotik, antispasmodik, antiementik

Observasi intake output, karateristik urine

Anjurkan untuk banyak minum

Persiapkan sampel urine

Pertahankan patensi kateter bila dipasang

Awasi tanda vital